HAKIKAT PUASA ke 6
Hakekat Puasa ke 6
Allah Ta'ala telah kabarkan hikmah yang agung dan
faedah yang mulia berupa diraihnya ketakwaan, sedangkan takwa adalah melakukan
ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan
Dalil-dalil yang
menunjukkan hakikat puasa yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala.
Puasa yang hakiki adalah puasa membuahkan ketakwaan
Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kalian berpuasa (Ramadhan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kalian agar kalian bertakwa” (Al-Baqarah: 183).
Allah Ta’ala telah
kabarkan hikmah yang agung dan faedah yang mulia berupa diraihnya ketakwaan,
sedangkan takwa adalah melakukan ketaatan dan meninggalkan
kemaksiatan. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan hikmah
diperintahkannya berpuasa,
لما
فيه من زكاة النفس وطهارتها وتنقيتها من الأخلاط الرديئة والأخلاق الرذيلة
“Di dalam ibadah puasa itu terdapat
kesucian jiwa dan kebersihannya serta mensterilkan dari kotoran yang buruk dan
akhlak yang hina” (Tafsir Ibnu Katsir).
Syaikh
Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan lebih rinci
tentang bentuk ketakwaan yang diperoleh dengan berpuasa, setelah menyebutkan
firman Allah:
لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Agar kalian bertakwa”, dengan
mengatakan,
فإن
الصيام من أكبر أسباب التقوى, لأن فيه امتثال أمر الله واجتناب نهيه
“Sesungguhnya
puasa termasuk salah satu sebab terbesar diraihnya ketakwaan, karena di dalam
ibadah puasa terdapat bentuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya.”
فمما
اشتمل عليه من التقوى: أن الصائم يترك ما حرم الله عليه من الأكل والشرب والجماع
ونحوها, التي تميل إليها نفسه, متقربا بذلك إلى الله, راجيا بتركها, ثوابه، فهذا
من التقوى.
“Yang
termasuk dalam cakupan takwa (yang terdapat dalam ibadah puasa ini, pent.)
adalah bahwa seorang yang berpuasa meninggalkan perkara yang diharamkan oleh
Allah berupa makan, minum, bersetubuh, dan lainnya yang disenangi oleh nafsunya
dengan niat mendekatkan dirinya kepada Allah, mengharap pahala-Nya dengan
meninggalkan perkara-perkara tersebut, maka ini termasuk bentuk ketakwaan.”
ومنها:
أن الصائم يدرب نفسه على مراقبة الله تعالى, فيترك ما تهوى نفسه, مع قدرته عليه,
لعلمه باطلاع الله عليه،
“Di
antara bentuk-bentuk ketakwaan dari ibadah puasa ini adalah bahwa orang yang
berpuasa melatih dirinya untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala,
sehingga ia meninggalkan sesuatu yang disukai dirinya, padahal ia memiliki
kemampuan untuk melakukannya, karena ia meyakini bahwa Allah mengawasinya.”
ومنها:
أن الصيام يضيق مجاري الشيطان, فإنه يجري من ابن آدم مجرى الدم, فبالصيام, يضعف
نفوذه, وتقل منه المعاصي،
“Di
antaranya juga bahwa puasa itu menyempitkan jalan-jalan setan dalam tubuh
manusia, karena setan berjalan dalam diri keturunan Nabi Adam -‘alaihis salam-
di tempat aliran darah. Maka dengan puasa melemahkan kekuatan setan dan menjadi
sedikit kemaksiatan karenanya.”
ومنها:
أن الصائم في الغالب, تكثر طاعته, والطاعات من خصال التقوى،
“Di
antaranya pula bahwa orang yang berpuasa pada umumnya banyak melakukan
ketaatan, sedangkan ketaatan adalah bagian dari ketakwaan.”
ومنها:
أن الغني إذا ذاق ألم الجوع, أوجب له ذلك, مواساة الفقراء المعدمين, وهذا من خصال
التقوى.
“Di
antaranya adalah orang yang kaya jika merasakan pedihnya lapar (saat berpuasa),
hal itu mendorongnya untuk meringankan kesulitan orang-orang fakir yang
tak berharta, dan ini adalah bagian dari ketakwaan” (Tafsir As-Sa’di)
Puasa yang hakiki adalah puasa yang bersih dari
ucapan dan perbuatan yang haram
Dalam
Hadits dari riwayat Al-Bukhari, bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ
فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa
yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak
menginginkan (tidak memberi pahala) aktifitas meninggalkan makan dan minum yang
dilakukannya (puasanya)” (HR. Al-Bukhari).
Syaikh
Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
فأما
قول الزور فهو: كُلُّ قولٍ محرّم من السب، والشتم، والكذب، والغِيبة، والنّميمة
والفحش… وأما العمل بالزور فهو: العمل بكل فعل محرم من الغش والخيانة والخيانة في
البيع والشراء وغيرهما والربا صريحًا كان أو تحيُّلاً
“Maka
adapun ucapan “az-zuur” adalah setiap ucapan yang haram, baik berupa mencela,
mengumpat, dusta, menggunjing, mengadu domba…dan adapun amal “az-zuur” adalah
setiap perbuatan yang haram berupa penipuan , khianat, khianat dalam jual beli
dan selainnya, dan riba yang terang-terangan ataupun yang akal-akalan” (http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_144.shtml)
Adapun
tentang makna “maka Allah tidak menginginkan…” dalam hadits
di atas, telah dijelaskan oleh Ibnul ‘Arabi rahimahullah yang
dinukilkan dalam kitab Fathul Bari,
مقتضى
هذا الحديث أن من فعل ما ذكر لا يثاب على صيامه ، ومعناه : أن ثواب الصيام لا يقوم
في الموازنة بإثم الزور وما ذكر معه
“Konsekuensi
yang ditunjukkan Hadits ini bahwa barangsiapa yang melakukan larangan yang
disebutkan dalam Hadits ini maka puasanya tidak diberi pahala, maksudnya bahwa
pahala puasanya tidak bisa mengalahkan dosa “az-zuur” dan apa yang disebutkan
bersamanya.”
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah menukilkan perkataan Al-Baidhawi rahimahullah dalam Fathul
Bari,
ليس
المقصود من شرعية الصوم نفس الجوع والعطش ، بل ما يتبعه من كسر الشهوات وتطويع
النفس الأمارة للنفس المطمئنة ، فإذا لم يحصل ذلك لا ينظر الله إليه نظر القبول ،
فقوله : ليس لله حاجة مجاز عن عدم القبول ، فنفى السبب وأراد المسبب ، والله أعلم
.
“Bukanlah
maksud disyari’atkannya puasa adalah lapar dan dahaganya, namun maksudnya
adalah perkara yang mengikutinya berupa menundukkan syahwat dan memudahkan jiwa
yang sifatnya memerintahkan kepada yang buruk, untuk menjadi jiwa yang tenang
dalam keimanan, maka jika tidak didapatkan hal itu ,maka Allah tidak melihatnya
dengan pandangan penerimaan (tidak memberi pahala, pent.)”
Syaikh
Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
أي:
أن الله تعالى لا يريد منَّا من الصيام أن ندع الطعام والشراب ولكن يريد منَّا أن
ندع قول الزور والعمل به والجهل
“Yaitu
bahwa Allah Ta’ala tidaklah menghendaki dari ibadah puasa kita , (sekedar)
meninggalkan makan dan minum, namun (hakekatnya) menghendaki dari kita agar
kita meninggalkan ucapan dan perbuatan haram dan tindakan bodoh” (http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_144.shtml)
Beliau
juga berkata:
فالذي
لا يترك هذه الأشياء لم يَصُمْ حقيقةً، فهو قد صَامَ عمَّا أحلَّ اللهَ، وفعل ما
حرَّم الله
“Maka
orang yang tidak meninggalkan meninggalkan perkara-perkara ini (ucapan dan
perbuatan haram dan tindakan bodoh), maka hakekatnya ia tidak puasa, karena
memang (zhahirnya) ia puasa (menahan) dari perkara yang dihalalkan oleh Allah,
namun ia melakukan perkara yang diharamkan oleh-Nya”
(http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=29384).
Puasa yang hakiki adalah puasa yang berbuah ampunan
Allah
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
صعد
النبي صلى الله عليه وسلم المنبر فقال: آمين، آمين، آمين، قيل يا رسول الله إنك
صعدت المنبر فقلت: آمين آمين آمين، قال: أتاني جبريل عليه الصلاة والسلام فقال: من
أدرك شهر رمضان فلم يغفر له فدخل النار فأبعده الله ، قل : آمين ، فقلت: آمين
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
naik mimbar kemudian berkata, ‘Amin, Amin, Amin’ Ditanyakan kepadanya, ‘Ya
Rasulullah, (mengapa) Anda naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?’
Beliau bersabda,
‘Sesungguhnya Jibril ‘alaihish shalatu was salam datang kepadaku, dia berkata,
‘Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan namun tidak diampuni dosanya, maka
akan masuk Neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan, ‘Amin’, maka akupun
mengucapkan, ‘Amin’” (HR. Ibnu Hibban, dan dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani).
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
من
صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh
keimanan dan mengharapkan pahala, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dari
kedua Hadits tersebut, nampaklah bahwa puasa yang dikehendaki oleh Allah adalah
puasa yang membuahkan ampunan-Nya.
Puasa yang hakiki adalah puasa yang bersih
dari ucapan keji dan tindakan bodoh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
-الصِّيَامُ
جُنَّةٌ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ
فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ ـ مَرَّتَيْنِ
“Puasa itu adalah perisai, maka janganlah
(seseorang yang sedang berpuasa) mengucapkan ucapan yang kotor, dan janganlah
bertindak bodoh, dan jika ada orang yang sewenang-wenang merebut haknya atau
mencelanya, maka katakan, ‘Saya sedang puasa’ -dua kali-” (HR.
Al-Bukhari).
Penjelasan
Puasa
adalah sebuah syari’at yang dimaksudkan agar orang yang melakukannya menahan
diri dari menuruti hawa nafsu, agar menjadi perisai bagi dirinya dari api
Neraka di akhirat kelak karena Neraka memang diliputi oleh hawa nafsu
(syahwat).
Nah, untuk meraih maksud puasa yang hakiki
inilah, kita diperintahkan untuk menahan diri dari semua perkara yang dilarang
oleh Allah Ta’ala, di antaranya adalah menahan diri dari
mengucapkan ucapan yang kotor dan bertindak bodoh, serta tidak meladeni orang
yang memancing emosi kita, dikarenakan hal itu bisa menodai puasa kita.
Itulah
hakikat puasa yang sesungguhnya, ia bukanlah sekedar menahan diri dari makan
dan minum semata.
Puasa yang hakiki bukanlah sekedar menahan makan
dan minum
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
رب
صائم حظه من صيامه الجوع والعطش
“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik
lapar dan dahaga” (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim dan dia
menshahihkannya. Al-Albani berkata Hasan Shahih).
Penjelasan
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengabarkan keadaan puasa banyak orang, bahwa mereka
tidak mendapatkan apapun kecuali lapar dan dahaga. Dengan demikian sesungguhnya
orang yang puasanya sekedar menahan dari makan dan minum, dan pembatal puasa
yang lainnya, namun tidak menjauhi keharaman-keharaman yang lain, maka
hakikatnya ia belum mencapai hakikat puasa yang sebenarnya.
Penutup:
Akibat ibadah yang tidak berbuah ketakwaan dan
kesucian jiwa
Ada
sebuah kisah yang di dalamnya terdapat pelajaran besar, agar kita dalam
memandang suatu ibadah, tidak terbatas kepada lahiriyah amal semata, namun
mampu meneropong hakikat sebuah amal ibadah.
Dari
Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata:
قَالَ
رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنَّ فُلَانَةَ – يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ
صَلَاتِهَا وَصِيَامِهَا وَصَدَقَتِهَا – غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا
بِلِسَانِهَا ؟ قَالَ : هِيَ فِي النَّارِ . قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ !
فَإِنَّ فُلَانَةَ – يُذْكَرُ مِنْ قِلَّةِ صِيَامِهَا وَصَدَقَتِهَا وَصَلَاتِهَا
– وَإِنَّهَا تَصَدَّقُ بِالْأَثْوَارِ مِنْ الْأَقِطِ وَلَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا
بِلِسَانِهَا ؟ قَالَ : هِيَ فِي الْجَنَّةِ )
“Seseorang bertanya, Wahai Rasulullah Seseungguhnya
ada seorang wanita yang terkenal dengan banyaknya shalat, puasa dan sedekah,
hanya saja ia dikenal pula suka menyakiti tetangganya dengan lisannya? Beliau
sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Dia masuk Neraka.’ Lalu orang tersebut
berkata lagi, “Wahai Rasulullah! seungguhnya ada seorang wanita yang dikenal
sedikit puasa, sedekah, dan shalatnya, dan dia bersedekah dengan sepotong keju,
namun ia tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya. Beliau sallallahu’alaihi
wa sallam bersabda ‘Dia masuk Surga’” (HR. Ahmad dan
dishahihkan oleh Al-Mundziri).
Nasihat Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah
Beliau
suatu saat mengatakan, “Seharusnya bagi kita -ketika kita sedang puasa- takwa
kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla lebih besar daripada takwa
kita pada saat sedang tidak berpuasa, walaupun takwa itu wajib dilakukan, baik
pada saat tidak puasa maupun pada saat puasa, akan tetapi seharusnya dalam
memperhatikan ketakwaan pada saat berpuasa itu lebih besar. Dan saya menduga,
seandainya seseorang menahan diri dari kemaksiatan sebulan penuh, maka ia akan
berubah cara beragamanya dan tingkah lakunya” (http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=29384).
Penulis:
Ust. Sa’id Abu Ukasyah