Selasa, 05 Juli 2016

SEJARAH PULAU BATAM

http://ikkmbatam.blogspot.co.id/2016/07/sejarah-pulau-batam.html

Sampai saat kini, belum ada data valid yang menuturkan tentang asal muasal nama Kota Batam. Bahkan, hikayat atau legenda yang ada dan tertutur dari mulut ke mulut belum mampu utuh menjabarkan toponimi “Batam.” Yang ada, justru orang kerap memberi kepanjangan Batam, dengan berbagai versi.
Pada era 1980-an, ketika Batam mulai bergeliat, tumbuh menjadi kota industri, orang sekenanya memberi kepanjangan Batam. Ada yang menyingkat Batam dengan Bila Anda Tiba Akan Menyesal. Ada yang menyebutnya Bila Tabah Anda Akan Menang, dan lain sebagainya.  
Berbagai versi singkatan itu muncul, agaknya tidak lain karena literatur yang mendedah tentang penamaan Batam pada dekade itu, sangat minim. Orang-orang Batam yang telah mendiami pulau ini sejak lama pun, bisa dibilang tidak mengerti banyak mengapa kota pulau ini dinamai Batam. Tradisi lisan yang menceritakan tentang asal usul nama daerah, justru banyak merujuk pada nama kawasan atau kampung di sekitaran Batam seperti Jodoh, Nagoya, Batu Aji, Pulau Buluh, Batu Ampar, Kampung Agas, Tanjung Uma, dan lainya.
Namun belakangan, ketika Batam makin banyak dihuni penduduk dengan beragam etnis dari berbagai daerah di nusantara, orang kemudian mulai penasaran, ingin mengetahui lebih jauh tentang asal usul nama Batam beserta hikayat atau legenda yang melingkupinya.
Tapi itu pun hingga kini belum terjawab tuntas. Tapi demikian, lambat laun, muncul beberapa tulisan yang meski sedikit, telah menyinggung tentang toponimi Batam. Versinya beragam dan di-input dari berbagai sumber, terutama orang-orang lama yang justru berasal dari luar Pulau Batam.
Dari cerita lisan mengenai asal muasal nama Batam, memang tidak terperinci secara spesifik. Belum ada satu pun kajian yang mampu secara gamblang dan utuh menyajikannya. Sejumlah buku yang bertutur tentang hikayat rakyat di Kepulauan Riau (Kepri), sebagian isinya telahlah menyinggung perihal Batam, tetapi tidak dalam konteks holistik. Sifatnya parsial, terpenggal-penggal.
Versinya juga beragam alias tidak satu kata. Satu lagi, buku-buku tersebut, terdistribusi dalam jumlah sangat terbatas sehingga tidak mampu terakses luas oleh khalayak. Oleh karena itulah tak mengherankan kalau hikayat asal muasal Batam dalam beberapa dekade, seolah tenggelam begitu saja. Akibatnya, banyak orang yang telah bertahun-tahun bermastautin di Batam, tergagap-gagap ketika ditanya tentang asal usul Batam, tanah tumpah darah, tempatnya bernaung dan beranak pinak.
Berbagai versi tentang hikayat Batam itu, satu di antaranya disebutkan dalam buku “Patahnya Gunung Daik,” tulisan Drs Abdul Razak. Di buku itu disebutkan bahwa “Batam” merupakan akronim dari “batu ampa,” merujuk pada cerita si Badang dan Putri Tumasik yang dikenal dalam khasanah hikayat rakyat Melayu. Tapi versi lain menyebut, “Batam” berasal dari kata “Batang.” Konon, ketika pertama kali tanah semenanjung tercipta, kawasan itu terkenal sangat labil. Ketika hembusan angin Selatan datang, tanah semenanjung itu terbuai-buai diterpa angin kencang.
Untuk melindungi kawasan labil itulah, dewa penunggu semenanjung meletakkan berbagai batang kayu yang masih berumbi di Belakang Selatan Semenanjung. Di mata Timur, rumpun batang itu dibentang (baca: bentan) lagi dengan rumpun batang yang lain. Lalu di bagian Selatan rumpun batang itu di Rempang dan di Galang pula dengan rumpun-rumpun batang lain. Belakangan, semua itu menjadi asal usul perkataan ‘Bintan,’ ‘Rempang.’ dan “Galang.’
Versi penamaan ‘Batam’ lainnya, tersebutkan pula dalam hikayat “Dari Nongsa ke Pulau Terong,” yang ditulis Abdul Basyid dan Raja Erwan. Versi ini menyebut, kata ‘Batam’ berasal dari kata pelanduk putih. Kalau ditilik dari akronimnya, kata ‘Batam’ dan ‘pelanduk putih’ memang tidak memiliki korelasi secara tekstual. Tetapi paling tidak, hikayat ini mampu memperkaya khasanah jagad ke-hikayat-an  Batam.
Hikayat itu bermula dari sepasang suami istri Bujang Jenali dan Siti Janilun. Keduanya hidup di kampung sebelah Utara, yang kini bernama Batam. Sang suami, sehari-hari bekerja menangkap ikan dan berburu pelanduk. Tapi entah bagaimana, satu ketika Siti Janilun ingin sekali melihat sang suami sepulang berburu membawa perlanduk berbulu hitam atau kelabu. Tidak putih seperti biasa Bujang Jenali memberikan kepadanya.
Tapi meski berusaha sekuat tenaga, Bujang Jenali tak sanggup memenuhi permintaan istrinya, karena setiap berburu ia tak pernah menemukan pelanduk berbulu hitam atau kelabu. Hingga pada satu hari sepulang dari berburu, ia kaget menemukan istrinya dibelit ular. Dengan sekali tebas, kepala ular yang memeluk pinggang istrinya itu terpisah dari badannya.
Sejak peristiwa itu, Bujang Jenali pun makin membulatkan tekad, untuk mendapatkan pelanduk yang tidak berwarna putih agar istrinya tidak kempunan. Namun apakah pada akhirnya ia berhasil atau tidak mendapatkan pelanduk seperti yang diinginkan istrinya, cerita ini tidak menjabarkan detil hingga ke sana. Yang pasti, kalau merujuk pada cerita tersebut, sejak itu pula, pulau tempat mereka berdiam disebut orang Pulau Pelanduk Putih yang kelak jadi asal-usul nama  “Pulau Batam.”
 (Edi Sutrisno)
Sumber : http://sampuawaltosilajara.blogspot.co.id